Siberpatroli.co.id Jakarta – Proses klarifikasi Laporan Pengaduan Masyarakat (Lapdumas) terhadap Kapolres Pringsewu, AKBP Yunnus Saputra, berubah menjadi panggung perlawanan simbolis ketika Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), memutuskan walkout dari ruang penyidikan. Keputusan ini tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan pribadi, tetapi juga bentuk protes terhadap ketimpangan prosedural dan perlakuan yang ia anggap arogan.
Drama bermula saat Wilson, didampingi dua penasihat hukumnya, Advokat Ujang Kosasih, S.H., dan Advokat H. Alfan Sari, S.H., M.H., M.M., tiba di lantai 9 Gedung Presisi Mabes Polri untuk memenuhi undangan klarifikasi. Setelah bersiap menjawab pertanyaan penyidik Unit III Den A Biro Paminal Divpropam Polri, suasana mendadak berubah tegang ketika Iptu Yulius Saputra, penyidik yang bertugas, melarang mereka mendokumentasikan jalannya klarifikasi, Selasa (21/1/ 2025)
Iptu Yulius bahkan meminta seluruh perangkat komunikasi mereka dikumpulkan, mengklaim bahwa larangan tersebut adalah bagian dari SOP internal Polri. Perintah itu langsung memicu protes keras dari Wilson.
Wilson menolak mentah-mentah larangan tersebut, mempersoalkan alasan di balik kebijakan yang dianggapnya tidak adil dan melanggar hukum. Ia menyampaikan argumen tegas:
⭐Jika aparat Polri dapat mendokumentasikan jalannya klarifikasi, mengapa pelapor tidak diberikan hak yang sama?
Larangan dokumentasi bertentangan dengan konstitusi dan UU Pers, yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
SOP internal Polri tidak memiliki kekuatan hukum di atas undang-undang yang berlaku di Indonesia.
“Kita hidup di negara hukum, bukan di bawah aturan sepihak yang dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu,” tegas Wilson.
Namun, upaya Wilson untuk berdialog tidak direspons dengan baik. Penyidik bersikukuh mempertahankan larangan tersebut, menciptakan suasana yang semakin memanas.
Merasa haknya sebagai pelapor diabaikan, Wilson mengambil langkah tegas. “Jika kami tidak diizinkan mendokumentasikan proses yang seharusnya transparan, maka tidak ada alasan bagi kami untuk tetap berada di sini,” katanya.
Wilson bersama tim hukumnya meninggalkan ruangan penyidikan tanpa memberikan keterangan lebih lanjut kepada penyidik. Kepergian mereka meninggalkan suasana penuh tanda tanya di ruang klarifikasi. “Melihat wajah mereka yang hanya bisa melongo adalah bukti nyata lemahnya argumen mereka,” tambahnya dengan nada satir.
Tidak berhenti di situ, Wilson segera menuju meja Lapdumas Divpropam Polri untuk melaporkan tindakan yang ia sebut sebagai “kesewenang-wenangan penyidik.” Dalam laporannya, ia menegaskan bahwa tindakan melarang dokumentasi dan memaksa pengumpulan perangkat komunikasi adalah bentuk pelanggaran hukum yang serius.
“Ini ironi terbesar. Polisi yang seharusnya melindungi rakyat justru melanggar hukum. Polisinya polisi harus melaporkan polisinya polisi kepada polisinya polisi. Negeri ini benar-benar ajaib,” ujarnya dengan nada getir.
Walkout Wilson Lalengke ini menjadi simbol perlawanan terhadap praktik birokrasi yang tidak transparan. Publik berharap tindakan ini mendorong evaluasi serius di tubuh Polri, khususnya dalam implementasi nilai-nilai Presisi.
“Walkout ini bukan sekadar aksi emosional. Ini adalah pesan bahwa rakyat tidak akan tinggal diam ketika diperlakukan tidak adil oleh aparat negara,” pungkas Wilson. (Red)
Editor Redaksi (Bony A)